Biaya Proses Perceraian
Senin, 22 Oktober 2012
PASAL 25 UU PERKAWINAN INDONESIA 2007
PASAL 25 UU PERKAWINAN INDONESIA 2007
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian tersebut.
Selasa, 05 Juni 2012
Istri Mengaku Selingkuh
Istri Mengaku Selingkuh
Istri saya membuat pengakuan perselingkuhan dan sudah melakukan
hubungan intim. Setelah itu hubungan kami menjadi tidak baik, sering cekcok karena istri saya suka bergaul dengan banyak teman laki-laki. Setiap bertengkar istri saya selaku mengatakan akan menggugat cerai dan sampai dengan surat ini saya buat, istrisaya sudah tidak mau berhubungan intim dengan saya, kurang Iebih empat bukan lamanya. Apa yang harus saya lakukan?
Perbuatan zina yang dilakukan salah satu pihak, bisa menjadi salah satu alasan bagi pihak lain untuk mengajukan permohonan talak (untuk suami) atau gugatan cerai (untuk istri).
Hal ini diatur dalam pasal 39 ayat (2) jo. penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: "Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak akan dapar hidup rukun rebagai suami istri.
Berhubungan intim dengan orang kain (bukan suami/istri) termasuk perbuatan zina sesuai pasak 284 KUH Pidana.
Menurut hukum, pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim cukup menjadi bukti untuk mernberatkan orang yang mengaku itu, baik yang dilakukan sendiri maupun dengan pertolongan orang lain, yang istimewa dikuasakan untuk itu (Pasal 174 HIR). Pasal 176 HIR menyebutkan, "tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya dan hakim tidak bebas akan menerima sebagian dan menolak sebagian", maka dengan adanya pengakuan zina dari istri maka kelak hakim tidak perlu menyelidiki kebenaran pengakuan itu. Sedangkan menurut hukum Iskam, pengakuan zina dapat menggantikan alat bukti empat orang saksi lelaki yang beragama Iskam.
Pada sisi kain, perlu Anda ketahui bahwa perceraian dengan alasan salah satu pihak melakukan zina tidak dapat dimohonkan rujuk. Demikian sesuai ketentuan pasak 163 ayat (2) huruf b Kompilasi Hukum Iskam.
Rabu, 23 Mei 2012
KONSEP HARTA GONO-GINI
KONSEP HARTA GONO-GINI
Bagaimanakah sebetulnya konsep pembagian harta gono gini setelah perceraian. Dibuat oleh siapakah?
Apakah seharusnya dilakukan pada saat setelah perceraian terjadi? Disahkan oleh siapa? Dan siapa saja yang harus menjadi saksi-saksinya?
Konsep pembagian harta gono gini (harta bersama) setelah perceraian yaitu 50% untuk istri dan 50% untuk suami.
Hal ini berdasarkan konsep harta bersama Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, harta yang diperoleh sepanjang perrkawinan adalah milik bersama suami istrri
Pembagian hana gono gini dilakukan berdasarkan kesepakatan suami istri. Mereka dapat membuat perianjian pembagian harta gono gini, dan perjanjian ini berlaku diantara mereka. Seperti perjanjian pada umumya, dapat dilakukan dengan akta notaris atau akta bawah tangan dengan dihadiri minimal 2 orang sasi, yang cakap menurut hukum.
Apabila telah membuat perjaniian, suami istri dapat membawa perjanjian itu ke pengadilan di mana mereka akan bercerai dan pengadilan akan menetapkan pembagian harta gono yang berlaku sesuai perjanjian tersebut.
Pembagian harta gono gini memang dilakuten setelah perceraian terjadi atau diputus oleh pengadilan. Pembagiannya didasarkan pada isi amar putusan perceraian yang menyatakan pembagian harta gono-gini.
Jika terjadi perceraian, maka pihak yang mensahkan pembagian harta gono gini adalah pihak Pengadilan yang berwenang karena pembagian harta gono gini dicantumkan dalam amar putusan perceraian yang diputus dan disahkan oleh pengadilan yang berwenang.
Jumat, 11 Mei 2012
Pasal 10, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Pasal 10, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Jumat, 04 Mei 2012
Perceraian dalam hukum islam atas Perkawinan di Luar Negri
Kasus:
Perawinan dilaksanakan di Luar Negeri, kemudian suami istri kembali ke lndonesia, sedangkan akta perkawinan masih belum didaftarkan di lndonesia.
Solusi:
Pertama-tama kami sampaikan bahwa perkawinan Anda di Luar Negeri tetap ada, walaupun belum didaftarkan. Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun I 974 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami istri yang melangsungkan perkawinan di luar Indonesia kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Sedangkan pasal 37 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, mengatur bahwa pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia di luar wilayah Indonesia dilaporLan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling larnbat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali Le Indonesia. Dalam hal ini, karena perkawinan dilangsungkan berdasarkan hukum islam, maka pelaporan/pendaftaran dapat dilakukan ke Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Sebagai tambahan, apabila perkawinan tidak dilargsungkan berdasarkan hukum Islam, bukti perkawlnan didaftarkan di Kantor Catatan Sipil.
Sanksi atas keterlambatan pendaftar adalah sanksi administratif berupa denda, yang besarnya maksimal 1 juta rupiah (pasal 90 UU No. 23 Tahun 2006). Pasal 45 ayat(2) huruf f Perpres No, 25 Tahun 2008 menentukan bahwa denda administratif dikenakan atas keterlarnbatan pelaporan perkawinan di luar wilayah Indonesia setelah kembali ke Indonesia. Denda administratif ini diatur dalam Peraturan Daerah setempat (pasa1 107 Perpres No, 25 Tahun 2008).
Mengenai perceraian, dapat dilakukan karena dalam hal ini tetap ada perkawinan. Pemohonan perceraian atau gugatan perceraian atas perkawinan yang dilangsurgkan di luar Negeri berdasarkan hukum Islam tapi bukti perkawinannya belum pernah dilaporkan/didaftaikan pada KUA setempat di Indonesia, diajukan ke Pengadilan Agama Jakatta Pusat. Permohonan perceraian atau gugatan perceraian atas perkawinan yang dilangsungkan di Luar Negeri berdasarkan hukum Islam dan bukti perkawinannya telah dilaporkan/didaftarkan pada KUA setempat di Indonesia, diajukan Lepada Pengadilan Agama wilayah KUA di mana bukti perkawinan telah dilaporkan.
Informasi lebih lanjut, kunjungi MasalahPerceraian.Com
Perceraian bagi non-muslim
Untuk Perkawinan bagi WNI beragama Kristen tunduk pada peraturan yang diatur dalam pasal 2 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai dengan pasal 2 PP No.9 Tahun I 975, yang dimaksud sebagai Lcmbaga Pencatat Perkawinan, adalah Kantor Urusan Agama bagi mereka yang melangsungkan perkawinan secara agama Islam dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama selain agama Islam. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan, seperti yang diatur dalam pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan Perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak akan hidup rukun sebagi suami-istri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Tidak ada standar baku untuk biaya perceraian. Adapun yang bersifat standar adalah biaya panjar pendaftaran perkara saat ini (Februari 2010) sebesar Rp.615.000,- di luar biaya-biaya tambahan perkara pihak Penggugat.
Anda dapat saja melakukan proses perceraian tanpa didampingi oleh kuasa hukum/pengacara. Bila menurut perkiraan Anda hasil yang akan diraih terbilang cukup optimal dengan tanpa didampingi kuasa hukum/pengacara proses perceraian bisa saja dilakuLan tanpa didampingi kuasa hukum,/pengacara. Namun, biasanya para pihak merasa perlu didampingi, karena awam soal hukum serta bingung saat mengikuti jalannla persidangan.
Konsekuensi pendampingan oleh kuasa hukum adalah Anda perlu mempersiapkan dana untuk membayar jasa pengacara.
Di sisi lain, kuasa hukum/pengacara, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk mewakili para pihak saat beracara.
Pengacara juga dapat menjembatari dialog antara para pihak yang akan bercerai dalam membicatakan segala kesepakatan yang ingin dicapai misalnya, tunjangan hidup, hak asuh anak dan hal-hal penting lainnya.
Informasi lebih lanjut, kunjungi MasalahPerceraian.Com
Perceraian pada Dua Warga Negara
Menurut hemat kami, sebaiknya istri mengajukan gugatan cerai atas perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia ke Pengadilan Negeri di wilayah kediaman istri sebagai penggugat, sekaligus mengajukan permohonan pembatalar perkawinan yang dilangsungkannla di Amerika. Hal ini dimaksudkan agar perceraian tersebut menjadi sah secara hukum ditinjau dari sudut kedua perkawinan tersebut.
Pada dasamya dalam proses sidang perceraian di Indonesia baik pihak isui maupun suarni memalg harus hadir dalam sidang tersebut, terutama dalam sidang pertama dimana Hakim akan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Namun demikian, berdasarkan Pasal 30 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, suami dapat tidak hadir dalam persidang dengan memberikan kuasa kepada Kuasa Hukumnya untuk mewakili dirinya.
Peraturan perundang-undangan tidak merinci lebih jelas mengenai hal-hal yang harus dipersiapkan untuk melakutan pengurusan perceraian sebagaimafla dimaksud. Namun ada hal penting yang sangat perlu diperhatikan, yaitu:
a. Bahwa untuk melakukan perceraian harus cukup alasan yang menyatakan bahwa suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri lagi (Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan")
b. Bahwa perceraian hanya mungkin dilakukan dengan berdasarkan pada salah satu alasan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 PP Pelaksanaan Perkawinan, antara lain sebagai berikut:
b.1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan.
b.2 Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
b.3 Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung;
b.4 Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahalakan pihak yarg
lain;
b.5 Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri
b.6 Antam suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
b.7 Bahwa perceraran tersebut dilakukan di depan sidang pengadilan (Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan).
Informasi lebih lanjut, kunjungi MasalahPerceraian.Com
Langganan:
Postingan (Atom)